Jakarta, Djatinegara.com – Pemerintah memastikan akan tetap memberikan insentif pajak tahun depan. Tapi, pemberiannya akan lebih selektif. ’’Insentif pajak tetap diberikan, tapi lebih selektif dan terus dilihat akuntabilitasnya, terutama dengan menteri investasi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Perempuan yang akrab disapa Ani tersebut menjelaskan, prinsip pemberian insentif fiskal yang terukur akan menghasilkan investasi berkualitas. Selain itu, pemerintah akan melakukan sejumlah reformasi pajak pada 2022. Salah satunya adalah pelonggaran pembayaran pajak dengan mengundur tanggal pembayaran. ’’Sehingga, makin mudah bagi masyarakat membayar pajak,” imbuhnya.
Untuk tahun depan, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.840,7 triliun. Angka itu meliputi penerimaan perpajakan Rp 1.506,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 333,2 triliun. Target perpajakan tahun depan itu naik 9,5 persen dibandingkan tahun ini.
Kebijakan perpajakan 2022 difokuskan pada perluasan basis pajak. Terutama perluasan objek dan ekstensifikasi berbasis kewilayahan serta penguatan sistem perpajakan, baik dalam investasi core tax maupun bisnis proses.
Namun, penerimaan pajak tahun depan diproyeksi belum optimal. Hal itu dipengaruhi kebijakan tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang akan turun menjadi 20 persen dari yang berlaku tahun ini sebesar 22 persen. ’’Ini yang menyebabkan penerimaan pajak tidak melonjak drastis,” katanya.
Sementara itu, Head of Center Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P.G. Talattov menyebutkan, target penerimaan pajak 2022 terlalu muluk-muluk. Mengingat, kinerja penerimaan pajak sudah lama loyo jauh sebelum pandemi Covid-19.
’’Bukan berarti kita pesimistis, menyangsikan keyakinan pemerintah. Tapi, harus bisa mengukur. Sebab, tidak mungkin setelah mengalami resesi, Indonesia langsung recovery secara normal. Apakah realistis?”papar Abra secara virtual.
Dia membeberkan, hal itu tecermin dari rasio perpajakan. Yakni, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan perpajakan yang relatif rendah. Pada 2019 dan 2020, rasio perpajakan hanya 9,7 persen dan 8,3 persen. Cenderung turun. Sementara itu, tax buoyancy masih di bawah nilai 1. Artinya, perekonomian belum efektif menghasilkan pajak sebagai pemasukan negara.
Discussion about this post