Jakarta, Djatinegara.com – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada Selasa (25/8) pukul 11.00WIB dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon Perkara Nomor 90/PUUXVIII/2020. Terdapat 3 (tiga) nomor perkara yang menguji UU MK ini, yaitu Perkara 90/PUU-XVIII/2020,96/PUU-XVIII/2020, dan 100/PUU-XVIII/2020.
Permohonan perkara 90/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Allan Fatchan Gani Wardhana, seorang dosen yang menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia (FH UII). Dalam permohonannya, Allan berpandangan bahwa masalah tata cara pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan negara di bidang legislasi cenderung diabaikan.
Kemudian dalam permohonan yang diperbaiki, Pemohon juga menjabarkan norma-norma yang dipersoalkannya secara materiil, yaitu norma Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22 jo Pasal 23 ayat (1) huruf d jo Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b, yang seluruhnya berkenaan dengan syarat usia seorang hakim konstitusi.
Secara khusus, Allan menjelaskan bahwa alasan kenaikan syarat usia hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun, tidak ditemukan dalam naskah akademik UU a quo. Menurutnya, terlepas dari ketentuan-ketentuan tersebut, calon hakim konstitusi harus dimaknai telah memiliki hak konstitusional untuk dapat diangkat sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang mengatur mengenai kriteria hakim konstitusi.
Sementara perkara 96/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Dr. Ir. Priyanto, S.H., M.H., M.M. Pemohon
menganggap, seharusnya Pasal 87 huruf b selengkapnya berbunyi, “Hakim Konstitusi yang sedang
menjabat pada saat undang-undang ini diundangkan meneruskan jabatannya apabila telah memenuhi
ketentuan Pasal 15 Undang-Undang ini dan mengakhiri tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun
selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun”. Pasal 87 huruf b UU 7/2020
yang “menganggap Hakim Konstitusi yang sedang menjabat memenuhi syarat” telah mempermanenkan
Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi syarat untuk menjalankan jabatannya sampai dengan 15 (lima
belas) tahun ini telah menutup hak konstitusional Pemohon memperoleh kesempatan sama dalam
pemerintahan.
Untuk Perkara 100/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh R. Violla Reinida Hafidz (Pemohon I), M. Ihsan
Mualana (Pemohon II), Rahmah Mutiara (Pemohon III), Korneles Materay (Pemohon IV), Beni Kurnia Ilahi
(Pemohon V), Giri Ahmad Taufik (Pemohon VI), dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh (Pemohon VII).
Perkara ini memohon Pengujian Formil dan Materiil terhadap Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), ayat (2),
Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), serta Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK dan Pengujian
materiil Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU MK.
Dalam alasan pengujian formil norma, Pemohon menilai pembentuk undang-undang melakukan
penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Revisi UU MK ini juga tidak memenuhi syarat carry over, pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik.
Revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid.
Sedangkan untuk pengujian materil, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkmah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul. Selain itu, sambung Kurnia, para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambahkan oleh Kurnia bahwa Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.
Discussion about this post