Jakarta, Djatinegara.com – Di saat partai politik besar sibuk saling mencitrakan diri pro rakyat. Lalu ada pula yang semangat tetap mengusung parpol paling bersih dengan mendiskreditkan atau nyinyir kepada tokoh yang dianggap bisa menang bila nyapres padahal parpolnya belum lolos di DPR. Lawan politik pun turut membalas pidato sang ketum, menganggapnya sedang mendompleng popularitas untuk perpanjangan nafas parpolnya agar turut lagi di pemilu 2024.
Sunyi parpol dan para akademisi menyoal pemilu ke depan yang serentak itu, bagaimana wujud keserentakannya? Padahal 2019 pemilu serentak telah dilaksanakan, hanya bedanya tahun penyelenggaraan antara pileg dan pilpres serentak dengan pemilukada.
Di pemilu 2019 lalu telah berjatuhan nyawa para pahlawan demokrasi, mereka adalah petugas garda terdepan pemilu, terdapat 894 yang meninggal dunia, serta 5.175 petugas yang jatuh sakit akibat beratnya beban kerja penyelenggaraan Pemilu. Nah, apakah istana dan senayan telah merangkai strategi jitu agar pemilu 2024 berjalan efektif, sehat, jurdil serta partisipasi pemilih sadarnya melampaui 60%? Kegamangan itulah yang membuat Jakarta Monitoring Network mengakhiri tahun 2021 dan memulai kegiatan diskusi yang bertajuk “Format Pemilu Serentak 2024” kemarin (22/12) bertempat di markas Lingkar Aktivis Jakarta Johar Jakarta Pusat. Hadir sebagai nara sumber Wage Wardana Ketua KPU Kota Jakarta Timur dan Amsori Bahrudin syah Akademisi Muda Politik Universitas Nasional Jakarta.
Direktur Eksekutif JMN yang langsung memimpin diskusi tersebut menyampaikan, bahwa setelah mandeknya pembahasan RUU Pemilu yang juga berimplikasi ditiadakannya pemilukada 2022 dan 2023, rakyat sesungguhnya bingung dengan format penyelenggaraan pemilu serentak nanti di tahun 2024. Begitu pun, Partai Politik dalam kaitan rekrutmen saksi serta caleg misalnya, harus bekerja ekstra karena menguat tetap dengan 5 kotak suara nanti di setiap TPS. Artinya sudah bisa dibayangkan saksi harus kuat dan tuntas menyelesaikan tugas bersaksinya hingga subuh.
Nara sumber pertama Wage Wardana mengatakan bahwa sudah dapat dibayangkan ruwetnya persiapan akan terjadi lagi, yaitu sulitnya dan mahalnya biaya penyimpanan alat peraga sebelum dan setelah pelaksanaan pemilu apalagi bila disusul pemilukada di tahun yang sama, maka membutuhkan gudang yang banyak dan besar luasannya. Karena Gudang yang dulu Pemprov DKI fasilitasi seperti Rusun yang masih kosong, kini telah ada penghuninya full. Begitupun kendala lain termasuk sosialisasi dengan SDM terbatas namun cakupan wilayah yang luas. Seperti diketahui, bahwa Jakarta Timur dan Kabupaten Bogor adalah wilayah yang jumlah pemilihnya terbanyak se-Indonesia. Namun apapun yang terjadi, Wage menyatakan KPU mulai Nasional hingga Kota dan Kabupaten pastilah siap melaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Peristiwa Pemilu 2019 pastilah menjadi pelajaran dan selalu terus dilakukan monitoring-evaluasi.
Menurut Wage, untuk mengantisipasi persoalan waktu dalam proses di hari pemungutan suara, KPU telah menyiapkan perangkat sistem informasi rekapitulasi elektronik (Sirekap) yang telah dimulai dalam pelaksanaan Pilkada 2020 lalu. Namun penggunaan Sirekap hanya sebatas untuk membantu percepatan kerja KPU dan mempublikasikan hasil penghitungan suara. Jadi masih terus dicari efektivitas dan aman dalam kerja-kerja petugas level TPS hingga KPU.
Dalam kesempatan yang sama Amsori akademisi politik Unas yang biasa dipanggil kang Abin, menyatakan sebaiknya kampus-kampus jangan terbatas mengajarkan teori politik dan demokrasi. Kampus menurutnya harus melakukan kajian untuk menyederhanakan pelaksanaan pemilu bagi rakyat, karena di akar rumput masih ada lebih dari 65% rakyat yang hanya tamat SLTP sehingga jangankan mengenal baik caleg dan capres secara ide dan gagasan, untuk calon kepala desa saja banyak yang tidak mengenalnya dengan masif dan paripurna. Sehingga faktor politik uang masih dominan yang mempengaruhi tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu. Abin merasa kecewa, “buat apa biaya ratusan triliun untuk penyiapan alat peraga media sosialisasi bagi KPU tetapi tingkat partisipasi dan pemahaman pemilih masih jauh dari kata paham”.
Ia mendambakan pola sistem penyederhanaan pemilu efektifnya mirip orde baru dengan 3 parpol, rakyat hanya memilih pada pemilu legislatif sehingga tidak membutuhkan waktu yang panjang bahkan timbulnya jatuhnya korban para petugas KPPS akibat kelelahan dalam proses pemungutan suara. Belum lagi banyaknya asumsi berlebihan tentang politik identitas. Itu kan karena paranoid saja kekhawatiran seseorang menang menjadi pemimpin baru sehingga berdalih menang dengan memakai politik identitas. Di negara maju seperti Amerika justru belum menerapkan sistim pemilu serentak, pola pemilunya masih bertahap dan terpisah atau tidak bersamaan waktunya antara pileg, pilpres apalagi bareng pilkada. Justru menjadi rahasia umum soal latar belakang capres, cagub dan cawalkot di negara maju tetap tidak terelakkan yang di Indonesia dinyatakan masuk katagori rasis serta dikenal politik identitas. “Jangan lebay lah”, tutup kang Abin. Peserta diskusi JMN kebanyakan aktivis dan juga hadir perwakilan fungsionaris partai turut menyampaikan kegalauan dinamika pemilu serentak. Mereka masih menanyakan penyebab dan antisipasi KPU atas banyaknya korban meninggal dari para petugas pemilu 2019 lalu. Peserta juga berharap sekecil mungkin jangan ada lagi praktik pemilu curang khususnya bagi parpol berkuasa yang ingin menang. Ada juga peserta diskusi yang berharap bisa turut menjadi penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan maupun kelurahan untuk membekali mereka pengalaman dalam momentum pemilu.
Dari kalangan politisi muda yang juga pengurus teras Golkar Jakarta Timur yang turut hadir, Agus Harta menanggapi bahwa gerakan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya di Jakarta sangat kurang, ia berharap pendidikan politik dan sosialisasi menyentuh ke semua kalangan termasuk bagi para buruh kasar yang dianggap cuek terhadap perhelatan pemilu dan juga para pekerja penggali kubur sangat minim pemahamannya soal politik. Agus berharap JMN ke depan mengajak pihak-pihak yang didanai APBD seperti Bakesbang untuk secara masif melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Di akhir diskusi Ahmad Sulhy berjanji melalui JMN akan menyelenggarakan seri diskusi Jakarta (SDJ) yang muatannya soal politik-demokrasi, pembangunan, BUMD serta partisipasi masyarakat lainnya. Porsi tema tetap 70% soal Ke-Jakartaan dan 30% persoalan Nasional.
Discussion about this post