Jakarta, Djatinegara.com – Setelah sebelumnya Pemerintah menghadirkan Ahli bersamaan dengan DPR yang memberikan keterangan. Sidang kali ini, Pemerintah dan DPR kembali memberikan keterangan dalam sidang Pengujian UU Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) yang akan digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/8), pukul 11.00 WIB dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Presiden.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 81/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Arnoldus Belau, Pemimpin Redaksi Media Suara Papua dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen. Norma yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 40 ayat (2b).
Sidang yang telah memasuki kali ke-8 (delapan) ini telah menghadirkan berbagai pihak yakni, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan yang menjelaskan bahwa ketentuan aquo haruslah dibaca satu kesatuan yang utuh dengan norma pandahulunya, khususnya norma rujukannya, yaitu Pasal 40 ayat (2a) UU ITE.
Sedangkan mengenai dalil yang menyatakan bahwa ketentuan a quo menutup ruang ketersediaan mekanisme perlindungan untuk menghadapi penyalahgunaan, termasuk komplain dan pemulihan atas pemblokiran konten yang dilakukan secara sewenang-wenangan, “hal ini tidaklah benar karena faktanya situs web Suara Papua telah dilakukan normalisasi pada tanggal 20 Desember 2016,” terang Semuel.
Selain mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, sidang ini juga telah mendengarkan keterangan beberapa Ahi yang diajukan yakni, Oce Madril, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada dan Herlambang Perdana Wiratman, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga yang hadir pada (15/12).
Oce menjelaskan Pemerintah hanya memiliki kewenangan terbatas dalam memutus akses, itu hanya terhadap informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar hukum. Jadi tidak bisa kemudian secara keseluruhan, jadi ada batasannya. Sedangkan Herlambang menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (2B) Undang-Undang ITE memiliki rumusan pembatasan yang tidak jelas. Hal ini dinilainya dapat menimbulkan praktik penyalahgunaan.
Ahli lain yang turut didengarkan pada sidang ke-enam (31/5) adalah, Titik Puji Rahayu Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair). Titi menjelaskan bahwa di dalam UU ITE tidak terdapat aturan mengenai regulasi dalam melakukan pemutusan akses internet dalam layer infrastruktur dan network. Pemohon juga mengajukan Saksi yakni Kepala Devisi Riset dan Pengembangan Jaringan di Lembaga Bantuan Hukum Pers Greenpeace Indonesia Periode 2014-2018.
Asep Komarudin mengatakan bahwa pada saat ia masih menjadi tim kuasa hukum Suara Papua, dirinya telah mengirimkan surat protes dan meminta klarifikasi kepada Kominfo mengenai portal yang tidak bisa diakses atau diblokir.
Dalam memperkuat keterangannya, Pemerintah menghadirkan Harsanto Nursadi ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) Universitas Indonesia selaku Ahli pada sidang ke-tujuh (14/6),. Harsanto menjelaskan, tindakan pemerintah dibagi dua yakni tindakan nyata dan tindakan hukum. Tindakan nyata tidak berakibat hukum dan tidak menimbulkan atau mengubah hak dan kewajiban. Sedangkan tindakan hukum dapat menimbulkan atau mengubah hak dan kewajiban serta berakibat
hukum
Discussion about this post