Jakarta, Djatinegara.com – Sorotan kembali mengarah kepada KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri dkk. Polemik kembali muncul, usai lahirnya peraturan pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpim Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perjalanan Dinas di lingkungan KPK.
Perpim itu salah satunya membahas mengenai pembiayaan perjalanan dinas pegawai KPK yang bisa dibiayai pihak panitia acara yang mengundang. Hal itu termuat di dalam Pasal 2 A Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2021.
Pasal itu berbunyi:
(1) Pelaksanaan perjalanan dinas di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengikuti rapat, seminar dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara.
(2) Dalam hal panitia penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menanggung biayanya maka biaya perjalanan dinas tersebut dibebankan kepada anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi dan dengan memperhatikan tidak adanya pembiayaan ganda.
Aturan itu berbuah kritik dari sejumlah pihak, mulai dari akademisi, pakar hukum, hingga mantan penjabat KPK.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyayangkan penerbitan aturan tersebut. Feri menyebut bahwa pimpinan KPK tak mengerti akan konsep konflik kepentingan.
“Peraturan pimpinan KPK yang baru itu tentu saja melegalisasi konflik kepentingan ya yang selama ini dihindari KPK dan KPK sudah teruji menjauhkan diri dari konflik kepentingan atau conflict of interest yang dikenal dengan COI itu,” ujar Feri.
Menurut dia, aturan ini membuka ruang agar seluruh biaya perjalanan dinas (Perdinas) pegawai KPK dapat dibiayai oleh institusi atau lembaga terkait. Padahal hal itu, dinilai justru berpotensi mengganggu kerja KPK.
Terlebih bila institusi atau lembaga terkait tersebut memang benar adanya terlibat perkara hukum di KPK.
Feri bahkan menganggap aturan baru yang disusun Firli Bahuri dkk ini makin menjauhkan komitmen KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Aturan ini pula, yang menurut Feri akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
“Bagi saya ini sebuah tindakan yang buruk, tidak memahami konteks pemberantasan korupsi, betul-betul jauh dari KPK yang dahulu. Sangat-sangat merusak dan menjauhkan KPK sebagai lembaga yang patut dicontoh oleh lembaga-lembaga lain,” tegas Feri.
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai aturan ini tidak hanya mengusik prinsip yang ada di KPK, tetapi juga dianggap berpotensi memicu munculnya modus rasuah, seperti gratifikasi di internal pegawai KPK.
“Rumusan yang bersifat umum itu niscaya membuka peluang terjadinya tindakan koruptif karena dapat menjadi media dan modus operandi baru terjadinya ‘gratifikasi’ sehingga dipastikan dapat ‘menabrak dan mengabaikan’ prinsip penting dari nilai integritas dari kode etik dan perilaku KPK,” ujar BW.
Hal tersebut lantaran tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai perjalanan dinas pegawai KPK bisa dibiayai panitia acara.
Peraturan baru KPK tersebut tidak mengatur secara rinci, siapa saja pihak yang dapat mengundang, apa dasar kepentingan undangan, hingga bagaimana melakukan penyaringan agar tidak menimbulkan benturan kepentingan.
“Padahal ada prinsip penting yang tersebut dalam nilai integritas di dalam kode etik dan perilaku KPK yang menegaskan “…Tidak menerima honorarium atau imbalan dalam bentuk apa pun dari pihak lain terkait pelaksanaan tugas kecuali..”. Hal itu kekecualikan itu, justru tidak disebutkan di dalam Perpim KPK. Bukankah ini tindakan dapat dikualifikasi sebagai naif dan terlalu gegabah?” ungkap BW.
Aturan baru itu dinilai telah mendegradasi nilai-nilai integritas KPK.
“ICW menilai Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan KPK semakin mendegradasi nilai-nilai integritas yang selama ini dibangun di KPK,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Bukan tanpa sebab, Kurnia menilai pihak yang menjadi pengundang KPK nantinya dapat menyajikan berbagai fasilitas, mulai dari penerbangan atau penginapan mewah tanpa ada pengecualian apa pun.
Kurnia menegaskan, permasalahan macam ini memang tidak bisa dihindari akan terjadi selama Pimpinan KPK masih diisi oleh orang-orang bermasalah. Tetapi ia tidak menjelaskan lebih lanjut siapa saja dan apa masalahnya.
Namun, catatan ICW yang berkaitan dengan unsur ekonomi merujuk pada pimpinan KPK periode sekarang. Kurnia menyatakan sedari awal sudah terlihat sangat tidak memiliki integritas.
“Misalnya, sebelum isu perjalanan dinas, terdapat wacana kenaikan gaji Pimpinan dan pembelian mobil dinas mewah di tengah masa pandemi COVID-19. Maka dari itu, melihat situasi terkini, masyarakat sebaiknya menurunkan ekspektasi dan tidak lagi menaruh harapan lebih kepada KPK,” ucapnya.
Menjawab semua kritikan tersebut, KPK menggelar konferensi pers pada Senin (9/8) sore. Salah satu poin yang disampaikan oleh Sekjen KPK Cahya Harefa dalam konpers tersebut yakni perjalanan dinas yang ditanggung panitia acara sebagai bentuk sinergi.
“Sharing pembiayaan juga merupakan salah satu implementasi Nilai Kode Etik KPK: Sinergi dengan para pemangku kepentingan lainnya, dalam melaksanakan tugas-tugas pemberantasan korupsi,” kata dia.
Cahya menjelaskan, Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 Tahun 2021 merupakan perubahan atas Perpim Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perjalanan Dinas di lingkungan KPK.
Perubahan itu merupakan penyesuaian berdasarkan ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap.
Dia menjelaskan ada sejumlah prinsip terkait penerapan hal tersebut. Mulai dari selektif; ketersediaan anggaran; efisiensi; dan akuntabilitas.
Apabila panitia penyelenggara tidak menanggung biaya perjalanan dinasnya, maka biaya tersebut dibebankan kepada anggaran KPK dengan memperhatikan tidak adanya pembiayaan ganda dan mengedepankan efisiensi anggaran.
Dia menjelaskan, dalam Peraturan Komisi Nomor 7 Tahun 2012 tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan KPK Pasal 3 huruf g disebutkan ‘Dalam komponen biaya perjalanan dinas dibayarkan oleh pihak atau instansi lain maka terhadap komponen biaya yang telah ditanggung tersebut tidak dibebankan lagi pada anggaran Komisi.’
Sebaliknya, lanjut Cahya, dalam sebuah kegiatan bersama dalam lingkup kementerian lembaga atau antar-ASN, KPK juga dapat menanggung biaya perjalanan dinas pihak terkait.
“Kami perlu tegaskan bahwa pembebanan atas biaya perjalanan dinas kepada pihak penyelenggara hanya berlaku antar-kementerian lembaga atau dalam lingkup ASN. Peraturan ini tidak berlaku untuk kerja sama dengan pihak swasta,” kata dia.
Cahya menegaskan, biaya perjalanan dinas merupakan biaya operasional untuk melaksanakan suatu kegiatan yang diatur dan memiliki standar nominalnya. Bukan gratifikasi apalagi suap. Ia juga menekankan biaya untuk kepentingan penanganan perkara tetap menjadi beban KPK.
“Namun pembiayaan pada proses penanganan suatu perkara, untuk mengantisipasi timbulnya konflik kepentingan, maka KPK memutuskan bahwa seluruh kegiatan tersebut tetap menggunakan anggaran KPK,” pungkas Cahya. (Kumparan)
Discussion about this post