Jakarta,Djatinegara.com – Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menyunat vonis Djoko Tjandra di kasus suap kepada Irjen Napoleon, Brigjen Prasetijo dan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ketua KPK Firli Bahuri bicara soal KPK kewenangan supervisi yang dimiliki oleh KPK.
Perlu diketahui, kasus suap Djoko Tjandra ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, KPK memiliki kewenangan untuk supervisi dengan mengambil alih kasus tersebut. Tapi, Firli menyebut supervisi memiliki syarat tertentu.
“Apabila perkara berlaru-larut, tidak selesai dan tidak mengungkap pelaku sesungguhnya, membuat perkara berpotensi tidak selesai, dan penanganan perkara terhambat karena melibatkan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, maka sesuai pasal 10 A UU No. 19 Tahun 2019 dan Perpres No.102 Tahun 2020, KPK bisa melangkah jauh melebihi peran supervisi. Kenyataanya tidak terjadi,” ujar Firli, Kamis (29/7/2021).
“Supervisi KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi kasus Djoko Tjandra telah selesai, saat berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan. Proses persidangan merupakan kewenangan hakim yang menyidangkan perkara tersebut,” katanya.
Namun, bagi Firli, masyarakat tetap bisa mengawasi kasus tersebut. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh jika vonis kepada Djoko Tjandra dianggap bermasalah.
“Apabila dalam proses persidangan terdapat hal-hal yang diduga mencederai rasa keadilan, maka masyarakat dapat melaporkan kepada Badan Pengawas Hakim dan atau Komisi Yudisial,” katanya.
Kemudian, untuk kasus Djoko Tjandra yang lain, Firli menyebut bisa saja KPK menyelidiki kasus baru itu. Masyarakat bisa melaporkan dugaan kasus korupsi itu kepada KPK atau lembaga lain.
“Jika terdapat pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan yang memerlukan tindak lanjut penanganan perkara lain seperti pelaku turut serta, maka penuntut umum yang bertugas dipersidangan tersebut wajib melaporkan kepada atasannya untuk dimintakan perintah tindak lanjutnya,” sebutnya.
“Jika dimungkinkan masyarakat juga dapat melaporkan suatu peristiwa tersebut kepada penegak hukum, KPK, Polri atau Kejaksaan,” katanya.
Diketahui, di tingkat pertama, Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara karena menyuap Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo terkait pengurusan penghapusan DPO di Imigrasi serta memberi suap ke Pinangki Sirna Malasari selaku jaksa pada Kejagung berkaitan dengan upaya permohonan fatwa MA agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi jika pulang ke Indonesia. Di tingkat banding, hukuman Djoko disunat.
“Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan,” demikian bunyi putusan banding yang dilansir website MA, Rabu (28/7/2021).(Red)
Discussion about this post